‎Sepuluh Isu Viral Sumut yang Tak Pernah Tuntas - Berita Pangururan

Home Top Ad

Post Top Ad

Selasa, 08 Juli 2025

‎Sepuluh Isu Viral Sumut yang Tak Pernah Tuntas

‎Media sosial di Sumatera Utara selalu menjadi ruang perdebatan yang tak pernah sepi, terutama bila sudah menyentuh soal sejarah dan identitas. Setiap beberapa bulan, sejumlah tema klasik akan kembali viral dan diperbincangkan secara luas, meski jarang berujung pada kesimpulan yang disepakati bersama. Topik-topik ini begitu akrab di telinga warga Sumut dan diaspora Batak di berbagai kota besar Indonesia.
‎Salah satu tema paling sering muncul adalah soal asal-usul orang Batak. Polemik soal tarombo atau silsilah Batak, hubungan leluhurnya dengan penyebaran DNA Austronesia, Melayu Tua, dan kaitannya dengan kerajaan-kerajaan lama seperti Samudera Pasai, Kesultanan Aceh, hingga Pagaruyung, kerap memantik diskusi panas. Bahkan sejumlah manuskrip Melayu kuno kerap dijadikan rujukan meskipun tafsirnya beragam dan belum tentu disepakati semua pihak.
‎Isu kedua yang tak kalah riuh adalah polemik sejarah Perang Padri. Nama M.O. Parlindungan dengan bukunya Tuanku Rao sering dipertentangkan dengan tulisan Buya Hamka. Sebagian menilai Parlindungan terlalu mengada-ada, sementara sebagian lain menyebut Hamka terlalu lunak pada narasi mainstream. Perdebatan ini terus bergulir tanpa ada penyelesaian akademis yang benar-benar final di ruang publik.
‎Catatan-catatan awal tentang Batak oleh Ibn Battuta, bangsa Aran, Persia, Portugis, Inggris, dan Prancis sebelum Belanda datang pun sering memantik diskusi. Perbedaan penyebutan antara Batak, Batta, dan Batee (di Aceh) menjadi topik favorit. Ada yang menganggap perbedaan itu sekadar variasi lidah bangsa asing, ada pula yang mencoba menarik benang merah etnis dan wilayah melalui istilah tersebut.
‎Sejumlah kontroversi dalam arsip Belanda mengenai kondisi Tanah Batak sebelum dan sesudah invasi Aceh, termasuk peran Sisingamangaraja XII, terus diperdebatkan. Ada yang beranggapan Belanda sengaja menutupi peran Aceh, Minang, Melayu, Bugis dll untuk alasan politis, sementara pihak lain meyakini pengaruh Aceh dkk di wilayah Batak memang besar sejak lama.
‎Tema kelima yang tak pernah usai adalah soal apakah Mandailing, Angkola, Pakpak, Karo, dan lainnya masuk Batak atau tidak. Perdebatan soal identitas ini kerap memanas karena sebagian masyarakat dari suku tersebut merasa memiliki identitas sendiri di luar payung "Batak". Sebaliknya, sebagian pihak menganggap mereka tetap Batak secara budaya maupun sejarah.
‎Isu tentang tuduhan kanibalisme yang dulu disebarluaskan oleh pegawai Belanda dan misionaris Jerman juga masih menjadi topik hangat. Beberapa kalangan menilai isu ini sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan masyarakat Batak demi kepentingan misi zending dan politik kolonial. Ironisnya, masyarakat Eropa kala itu sendiri punya sejarah kelam serupa yang jarang dibahas.
‎Peristiwa perseteruan antara tokoh Malau dan Bejo di awal kemerdekaan yang berkaitan dengan gagasan Negara Batak Raya juga kerap diungkit. Gagasan ini dulunya diprovokasi oleh Belanda, memanfaatkan keresahan lokal. Ada pula imajinasi sejarah tentang keberadaan Kerajaan Batak Raya yang diyakini sudah berdiri ribuan tahun lalu, meski faktanya kerajaan di tanah Batak lebih berupa kerajaan-kerajaan kecil di setiap huta.
‎Isu konflik internal militer antara Jamin Ginting dan M Simbolon di era PRRI juga tak lepas dari perdebatan. Kadang, kisah ini kembali menyeret wacana Negara Batak Raya. Ada yang menganggap rivalitas ini bagian dari kepentingan politik nasional, ada pula yang melihatnya sebagai gejala ketegangan etnis di era republik muda.
‎Perbedaan adat di Sumatera Utara yang cukup tajam kerap memicu sindiran saling tidak asli antar kelompok. Misalnya, sebagian Batak Toba menuduh Mandailing atau Angkola bukan Batak murni. Sebaliknya, Mandailing atau Angkola merasa lebih tua atau berbeda dari Toba. Situasi ini memperlihatkan betapa identitas kultural di Sumatera Utara sangat cair sekaligus sensitif.
‎Selain itu, isu lain yang tak kalah viral adalah soal asal-usul nama. Seperti asal kata Toba yang disebut-sebut dari "Hatoban", yang menurut beberapa sejarawan lokal itu mitos belaka. Atau asal nama Karo, suku Hataran, hingga kisah revolusi sosial di Sumatera Timur. Dalam peristiwa itu, ada yang menuding pelaku maupun korban punya marga tertentu, hingga muncul sentimen antar komunitas.
‎Lalu, wacana soal wilayah-wilayah di Sumut juga kerap muncul. Seperti perdebatan bahwa Medan bukan tanah Melayu karena dulunya bagian dari tanah Karo. Begitu pula Tebing Tinggi yang disebut-sebut lebih dekat ke Simalungun daripada Melayu. Isu batas budaya dan politik ini muncul kembali di media sosial hampir tiap tahun.
‎Persoalan tarombo sering menjadi pemantik konflik identitas. Sebagian pihak berusaha mengaitkan tarombo-nya dengan legenda-legenda asing atau kerajaan di luar Sumatera. Sementara lainnya tetap bertahan pada narasi lokal yang diwariskan secara lisan. Perdebatan ini kadang berujung pada klaim-klaim silsilah yang saling tumpang tindih.
‎Di sisi lain, kisah-kisah yang bersumber dari catatan misionaris asing kerap menimbulkan bias. Sebagian menyebut misionaris terlalu merendahkan masyarakat Batak dengan stereotip negatif agar misi Kristen lebih mudah diterima. Sementara yang lain menganggap catatan itu setidaknya menjadi saksi sejarah perjumpaan dua peradaban berbeda.
‎Tak sedikit pula yang mengangkat kisah peran Batak dalam perdagangan maritim Asia Tenggara. Beberapa pengguna media sosial bahkan mengaitkan orang Batak dengan pelaut-pelaut kuno yang ikut dalam ekspedisi Majapahit hingga Samudera Pasai. Meski menarik, topik ini jarang diimbangi penelitian ilmiah yang memadai.
‎Perdebatan juga sering menghangat soal hubungan Batak dengan Minangkabau. Ada yang meyakini hubungan itu erat sejak masa kerajaan kuno. Tapi ada pula yang menolak dan menuding narasi itu hanya untuk kepentingan politik kekinian. Hubungan dua kelompok besar Sumatera itu pun kerap diwarnai sentimen lama.
‎Isu soal peran tokoh-tokoh Batak dalam sejarah nasional, baik dalam perlawanan kolonial maupun perpolitikan Indonesia, sering diperdebatkan. Sebagian merasa peran mereka kurang diakui dalam narasi nasional. Sebagian lagi menganggap hal itu akibat kurangnya dokumentasi yang kuat dan objektif dari masa lalu.
‎Dalam soal seni budaya, perdebatan soal lagu-lagu tradisional, tarian, hingga upacara adat juga kerap viral. Ada yang menyebut sebagian adat Batak sudah terkontaminasi adat luar, sementara lainnya justru bangga adat mereka bisa beradaptasi dan bertahan di tengah modernisasi.
‎Persoalan seputar asal mula marga dan perubahan ejaan nama-nama marga Batak juga ramai diperbincangkan. Sebagian kalangan menginginkan ejaan lama dipertahankan demi sejarah, sementara yang lain lebih memilih penyesuaian agar lebih mudah diterima di era digital.
‎Terakhir, isu-isu terkait agama di kalangan Batak yang sangat plural juga tak lepas dari kontroversi dan beberapa isu lainnya. Inilah yang membuat Sumut selalu menarik sebagai laboratorium sejarah dan identitas yang dinamis.

Tidak ada komentar:

Post Top Ad