Hikayat Raja Guguak dan Perlawanan Melawan Portugis - Berita Pangururan

Home Top Ad

Post Top Ad

Selasa, 08 Juli 2025

Hikayat Raja Guguak dan Perlawanan Melawan Portugis


Di balik sejarah panjang Sumatera Barat, terdapat kisah-kisah lokal yang jarang muncul dalam buku sejarah nasional, salah satunya tentang Raja Guguak yang disebutkan dalam riwayat suku-suku di pesisir barat Minangkabau. Nama Raja Guguak atau Bagindo Sutan Basa tercatat dalam penuturan Tambo Bayang dan silsilah beberapa suku, khususnya suku Guci dan Tanjung. Cerita ini mengisahkan perannya dalam menghadapi ancaman Portugis di sepanjang pesisir barat Sumatera pada abad ke-16 hingga 17 Masehi.

Portugis mulai hadir di perairan Sumatera Barat setelah jatuhnya Malaka ke tangan mereka pada 1511. Sebagai bangsa pelaut yang agresif, mereka aktif menguasai jalur-jalur dagang rempah dan rempah-rempah dari Nusantara ke India dan Eropa. Salah satu strategi mereka adalah mendirikan benteng dan pos di sepanjang pantai barat Sumatera, khususnya di daerah-daerah yang menjadi pelabuhan penting bagi pelayaran haji dan perdagangan. Pesisir Bungus, Tarusan, hingga Bayang menjadi titik-titik yang diawasi ketat oleh armada Portugis.

Selain menguasai jalur rempah, armada Portugis terkenal sering membajak kapal-kapal Nusantara yang menuju ke Mekkah untuk berhaji. Kapal-kapal yang berlayar dari Aceh, Pariaman, hingga Indrapura acap kali dirampas di perairan barat Sumatera. Tidak hanya harta dagangan, para penumpang termasuk jemaah haji pun kerap menjadi korban kekejaman pelaut Eropa ini. Portugis memandang jalur Sumatera sebagai jalur emas yang bisa menghubungkan Malaka dengan Samudera Hindia.

Peristiwa pembajakan kapal haji ini kerap memantik perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal. Kerajaan Aceh menjadi yang paling keras melakukan penyerangan ke benteng-benteng Portugis di sepanjang Selat Malaka. Namun di Sumatera Barat, perlawanan cenderung bersifat sporadis dan dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, salah satunya Raja Guguak. Bagindo Sutan Basa disebut-sebut mengutus rombongan Guguak Cupak untuk membantu rakyat Bandar Sepuluh Lamo di sepanjang Bungus Mandeh.

Misi ini bertujuan menghalau keberadaan Portugis yang telah mengganggu ketentraman pelabuhan-pelabuhan kecil dan aktivitas perdagangan masyarakat pesisir. Sayangnya, kekuatan pasukan lokal tidak sebanding dengan persenjataan Portugis. Akhirnya, rombongan dari Guguak Cupak ini terpaksa mundur ke hulu Sungai Batang Barus atau Batang Tarusan dan mendirikan perkampungan baru. Dari peristiwa inilah cikal-bakal Padang Salapan Suku terbentuk.

Kisah ini terabadikan dalam penuturan nenek moyang suku-suku di Bayang, termasuk suku Guci Lubuk Gambir yang berasal dari Luhak Kubuang Tigo Baleh, Solok. Menurut cerita lisan, nenek moyang suku ini bernama Bagindo bersama sembilan saudaranya bermigrasi ke pesisir barat Minangkabau, tepatnya ke Bayang, Kinari, dan Koto Anau. Perpindahan ini didorong oleh situasi politik dan ancaman keamanan akibat kehadiran Portugis di sepanjang pantai.

Dari Muaro Paneh, keluarga Bagindo menetap di beberapa nagari pesisir. Bersama para pendatang dari Gunung Talang dan Kinari, mereka membangun komunitas baru di Bayang Salido, Duku Tarusan, dan daerah sekitar Bungus Mandeh. Tradisi lisan menyebutkan bahwa keturunan dari migrasi ini kemudian membentuk kelompok-kelompok adat yang dikenal dengan sebutan suku Tanjung, suku Guci, dan suku Caniago.

Dalam Tambo Bayang yang disusun pada 1915, tercatat adanya beberapa suku Tanjung, yaitu Tanjung Sikumbang, Tanjung Koto, Tanjung Ketek, dan Tanjung Kaciak. Keberadaan suku-suku ini memperlihatkan bahwa migrasi akibat tekanan Portugis ikut membentuk pola permukiman dan penyebaran suku di pesisir barat Minangkabau. Bahkan suku Tanjung Kaciak disebut telah menetap di Sungai Durian dan Batang Arau Koto, sebelum akhirnya berbaur ke dalam komunitas suku Tanjung Gadang.

Kejadian-kejadian di pesisir barat Minangkabau ini merupakan gambaran kecil dari dampak agresi kolonial Portugis di Sumatera. Kehadiran mereka tidak hanya mengubah jalur perdagangan, tetapi juga memaksa masyarakat lokal untuk berpindah, membangun komunitas baru, dan mempertahankan wilayahnya. Dalam konteks Minangkabau, peristiwa ini membuktikan kuatnya hubungan antara luhak di pedalaman dengan rantau pesisir dalam menghadapi ancaman luar.

Di sisi lain, peristiwa ini juga mengungkap bagaimana Portugis menggunakan kekuatan lautnya untuk memonopoli perdagangan dan lalu lintas pelayaran di Samudera Hindia. Selain membajak kapal dagang, Portugis juga menyasar kapal haji yang rutin berlayar ke Jeddah melalui perairan barat Sumatera. Mereka menangkap jemaah haji, merampas harta benda, bahkan memaksa sebagian dari mereka untuk dijual sebagai budak ke koloni-koloni Portugis di India dan Afrika Timur.

Tidak heran, berbagai kerajaan dan komunitas di sepanjang pesisir Sumatera menjadikan Portugis sebagai musuh bersama. Meski secara kekuatan militer tidak seimbang, semangat perlawanan tetap berkobar. Sejumlah benteng pertahanan rakyat dibangun di titik-titik strategis sepanjang pesisir dari Pariaman hingga Indrapura. Sementara itu, di Aceh, Sultan Iskandar Muda dan Sultan Alaudin Riayat Syah dikenal gigih menggempur pos-pos Portugis di Selat Malaka.

Selain faktor agama, pembajakan kapal haji ini menjadi pemicu kemarahan komunitas Muslim di Sumatera. Tradisi berhaji sejak abad ke-15 telah mengakar kuat di Minangkabau. Setiap tahun, kapal-kapal haji berangkat dari Pariaman, Padang, dan Indrapura, membawa jemaah yang kemudian berlabuh di Jeddah. Tindakan pembajakan Portugis dianggap sebagai penghinaan terhadap umat Islam dan menjadi alasan moral bagi tokoh-tokoh adat dan agama untuk menggalang perlawanan.

Kisah Raja Guguak dan perjuangan rakyat pesisir Minangkabau ini adalah salah satu episode penting dalam sejarah lokal Sumatera Barat yang masih jarang diangkat. Cerita ini menggambarkan bagaimana rakyat kecil bersatu dalam menghadapi penjajah asing demi mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan keselamatan komunitasnya. Meskipun kisah ini lebih banyak dituturkan secara lisan, ia tetap menjadi bagian penting dari identitas sejarah masyarakat pesisir Minangkabau.

Seiring waktu, kawasan pesisir Bungus Mandeh dan Tarusan memang terus berkembang sebagai daerah perdagangan dan pelabuhan penting. Namun jejak Portugis di sana perlahan memudar, tergantikan oleh kehadiran Belanda yang mulai mendominasi perairan barat Sumatera pada abad ke-17. Warisan perlawanan terhadap penjajah asing inilah yang terus hidup dalam ingatan masyarakat adat, termasuk dalam cerita tentang Raja Guguak.

Hari ini, nama-nama kampung dan nagari di sepanjang Bungus, Tarusan, hingga Bayang masih menyimpan kisah-kisah lama tentang migrasi, pertempuran, dan pengusiran Portugis. Meskipun benteng-benteng Portugis di wilayah itu sudah lama hilang, jejak sejarahnya masih dapat ditelusuri melalui toponimi, silsilah suku, dan tambo-tambo tua. Salah satunya yang mencatat peran penting Raja Guguak dalam menggerakkan perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajahan asing.

Tidak ada komentar:

Post Top Ad