Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka telah menyuarakan keinginannya untuk mengganti rezim di Iran, sebuah ambisi yang jika terwujud, diperkirakan akan memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekadar perubahan internal di Teheran. Analis politik dan ahli strategi di kawasan Timur Tengah memperingatkan bahwa keberhasilan Israel dalam menjalankan strategi "perubahan rezim" di Iran akan menjadi preseden berbahaya yang mengancam kedaulatan dan stabilitas seluruh negara Arab, tanpa terkecuali. Ini bukan sekadar isu domestik Iran, melainkan sebuah pertaruhan besar bagi masa depan geopolitik seluruh Timur Tengah.
Narasi yang seringkali disuarakan oleh Tel Aviv adalah bahwa rezim Iran adalah penghalang dominasinya dan sekarang merupakan ancaman utama bagi keamanan Israel dan kawasan. Mereka menuduh Teheran mendanai kelompok-kelompok militan dan mengembangkan program nuklir yang berpotensi membahayakan. Namun, bagi banyak pengamat, alasan-alasan ini hanyalah sebagian dari gambaran besar. Sejatinya, Iran adalah satu-satunya kekuatan regional yang secara konsisten menentang dominasi Israel dan Amerika Serikat. Keberadaan Iran yang kuat dan mandiri menjadi penghalang utama bagi perluasan pengaruh Israel di seluruh Timur Tengah.
Jika Iran berhasil diganti rezimnya, Israel akan kehilangan satu-satunya penyeimbang kekuatan yang signifikan di kawasan. Kekosongan kekuatan ini tidak akan serta-merta diisi oleh negara-negara Arab yang "moderat" atau pro-Barat. Sebaliknya, hal itu justru akan memberikan celah bagi Israel untuk menerapkan kebijakan yang jauh lebih agresif dan unilateral. Dengan musuh utama yang sudah tidak berdaya, Israel akan merasa tidak perlu lagi menahan diri dalam menghadapi tantangan apa pun dari negara-negara lain di sekitarnya.
Beberapa negara Arab mungkin berpikir bahwa mereka akan terhindar dari dampak buruk ini karena hubungan diplomatik yang sudah terjalin dengan Israel. Perjanjian Abraham, misalnya, telah menciptakan ilusi bahwa kedekatan dengan Israel akan menjamin keamanan dan stabilitas. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Israel selalu bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri, dan aliansi dapat dengan mudah diabaikan jika dianggap tidak lagi relevan.
Negara-negara Arab yang sekarang merasa aman dalam perlindungan Israel bisa jadi akan menjadi target berikutnya ketika Israel merasa perlu untuk "menata ulang" kawasan sesuai keinginannya.
Modus operandi yang sama akan diterapkan. Isu-isu keamanan, ancaman terorisme, atau bahkan klaim historis akan digunakan sebagai pembenenaran untuk campur tangan, baik secara militer, politik, maupun ekonomi. Sebuah rezim di negara Arab mana pun yang dianggap terlalu berjarak atau tidak cukup kooperatif dengan kepentingan Israel akan menjadi sasaran empuk. Kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat atau perjanjian pertahanan dengan negara-negara Barat pun tidak akan lagi menjadi jaminan perlindungan yang solid.
Skenario ini akan menandai dimulainya era dominasi Israel yang tak terbantahkan. Tanpa Iran sebagai penyeimbang, Israel akan menjadi satu-satunya kekuatan militer dan intelijen yang dominan di Timur Tengah. Negara-negara Arab, baik yang pro-Barat maupun yang netral, akan mendapati diri mereka terpaksa tunduk pada kebijakan dan tekanan dari Tel Aviv.
Kedaulatan mereka akan terkikis secara perlahan, dan keputusan-keputusan strategis mereka akan dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh kepentingan Israel.
Dominasi ini tidak hanya akan bersifat militer. Israel juga akan memperluas pengaruhnya di bidang ekonomi. Proyek-proyek infrastruktur regional, jalur perdagangan, dan sumber daya alam akan dikendalikan atau dipengaruhi oleh Israel. Negara-negara Arab akan dipaksa untuk mengintegrasikan ekonomi mereka dengan Israel, menciptakan sebuah ketergantungan yang akan sangat sulit untuk diputus. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengikis kemandirian ekonomi dan politik mereka.
Skenario terburuknya adalah bahwa dominasi ini akan berlangsung selama beberapa generasi. Sebagian ahli memperkirakan bahwa jika Israel berhasil menaklukkan perlawanan Iran, mereka akan menikmati supremasi regional selama minimal 100 tahun. Sebuah generasi baru di negara-negara Arab akan tumbuh tanpa tahu apa artinya memiliki kedaulatan penuh atau membuat keputusan strategis tanpa campur tangan dari Israel. Mereka akan hidup dalam bayang-bayang kekuatan Israel, dengan masa depan yang ditentukan oleh Tel Aviv.
Sebaliknya, keberadaan rezim Iran saat ini, terlepas dari segala kontroversi yang menyertainya, berfungsi sebagai pengingat bahwa dominasi Israel bukanlah sebuah keniscayaan. Iran menjadi simbol perlawanan dan kemandirian, yang meskipun terkadang membawa ketegangan, juga berfungsi sebagai penyeimbang yang mencegah Israel bertindak semena-mena. Oleh karena itu, bagi banyak pengamat, stabilitas Iran, meskipun dalam format rezim yang sekarang, sebenarnya lebih penting bagi stabilitas regional daripada yang terlihat.
Keinginan Netanyahu untuk mengganti rezim di Iran sebenarnya adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk mengukuhkan Israel sebagai satu-satunya kekuatan hegemonik di Timur Tengah. Ini adalah langkah yang berani dan berisiko, namun imbalannya sangat besar bagi Israel. Bagi negara-negara Arab, ini adalah peringatan yang jelas. Jika Iran jatuh, mereka bisa jadi akan menjadi yang berikutnya.
Mereka tidak bisa lagi bersembunyi di balik perjanjian diplomatik atau janji-janji perlindungan dari Barat. Kebijakan luar negeri yang didasarkan pada asumsi bahwa "musuh dari musuhku adalah temanku" akan menjadi bumerang. Israel bukanlah teman yang bisa dipercaya, melainkan kekuatan yang akan mengejar kepentingannya sendiri dengan segala cara. Jika rezim Iran tumbang, seluruh kawasan akan menghadapi era ketidakpastian yang panjang dan menyakitkan, di bawah bayang-bayang dominasi Israel yang tak terbantahkan.
Keterbatasan Israel saat ini adalah bahwa mereka masih harus mengalokasikan sumber daya dan perhatian untuk menghadapi Iran, baik secara militer, diplomatik, maupun ekonomi. Hal ini membatasi kemampuan Israel untuk sepenuhnya mengalihkan fokusnya ke negara-negara Arab lain. Namun, jika ancaman Iran hilang, semua sumber daya itu akan dialihkan untuk mengukuhkan kekuasaan Israel di seluruh kawasan. Itu adalah skenario yang seharusnya membuat setiap pemimpin Arab ketakutan.
Banyak negara Arab telah lama berharap bahwa konflik antara Israel dan Iran akan melemahkan kedua belah pihak, atau setidaknya membuat keduanya sibuk satu sama lain. Namun, mereka lupa bahwa kekuatan yang pada akhirnya muncul sebagai pemenang akan menjadi kekuatan yang jauh lebih berbahaya. Jika Israel adalah pemenangnya, maka tidak ada lagi yang akan menghalangi mereka untuk memaksakan kehendak mereka di seluruh Timur Tengah.
Dapat dikatakan, nasib kedaulatan negara-negara Arab di masa depan secara tidak langsung terikat pada nasib rezim di Iran. Selama Iran masih menjadi penyeimbang, masih ada harapan bahwa Israel akan bertindak lebih hati-hati. Namun, jika Iran tumbang, maka seluruh kawasan akan memasuki periode gelap di mana dominasi Israel akan menjadi satu-satunya kenyataan.
Pada akhirnya, ini adalah tentang pilihan strategis. Apakah negara-negara Arab akan melanjutkan strategi mereka yang terfragmentasi, yang pada dasarnya akan membuat mereka menjadi sasaran empuk satu per satu? Atau apakah mereka akan menyadari bahwa kedaulatan mereka sendiri bergantung pada adanya penyeimbang kekuatan yang kuat di kawasan?
Peringatan ini mungkin terdengar dramatis, namun esensinya sangat jelas.
Jika Netanyahu berhasil mengganti rezim di Iran, itu bukan hanya kemenangan bagi Israel, melainkan juga kekalahan bagi seluruh negara Arab. Kekalahan ini bukan hanya akan bersifat sementara, melainkan akan menentukan nasib mereka selama setidaknya satu abad mendatang.
Ini adalah sebuah realita pahit yang harus dihadapi oleh para pemimpin Arab.
Mereka harus melihat melampaui perbedaan-perbedaan mereka dengan Iran dan menyadari bahwa dalam skala geopolitik yang lebih besar, mereka memiliki musuh yang sama. Dan musuh itu, jika tidak terkendali, akan menguasai segalanya.
Kerja sama yang mulai terjalin dengan Iran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa laporan, mungkin adalah langkah awal yang tepat. Membangun jembatan dan mencari kesamaan kepentingan, terutama dalam menghadapi ancaman yang sama, adalah satu-satunya cara untuk mencegah skenario terburuk terjadi. Ini adalah sebuah upaya untuk menciptakan kembali keseimbangan kekuatan di kawasan, yang telah lama hilang.
Oleh karena itu, stabilitas di Teheran bukan hanya isu internal Iran. Ia adalah isu regional yang mempengaruhi setiap ibu kota di Timur Tengah. Sebuah Iran yang kuat, terlepas dari siapa yang berkuasa, adalah sebuah prasyarat bagi kedaulatan negara-negara Arab. Tanpa itu, mereka akan jatuh satu per satu ke dalam cengkeraman dominasi Israel yang tak terhindarkan.
Ini adalah perdebatan yang perlu dibuka secara luas di seluruh dunia Arab. Apakah mereka akan mengorbankan kedaulatan mereka demi ilusi keamanan yang ditawarkan oleh Israel, atau apakah mereka akan bersatu untuk menghadapi ancaman yang lebih besar? Pilihan ini akan menentukan masa depan kawasan selama puluhan tahun mendatang.
Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa kekuatan yang tidak terkendali cenderung akan bertindak semena-mena. Dengan Iran yang tumbang, Israel akan menjadi kekuatan yang tidak terkendali. Dan pada saat itu, seluruh negara Arab akan menjadi korban berikutnya dari ambisi hegemonik mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar