Sejarah penjelajahan manusia di laut lepas menyimpan banyak misteri yang belum sepenuhnya terungkap. Salah satu wacana yang cukup menarik adalah kemungkinan orang Arab atau komunitas campuran Arab-Nusantara sudah berlayar hingga ke Selandia Baru jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Catatan resmi menyebut Abel Tasman sebagai orang pertama yang mendokumentasikan Selandia Baru pada 1642. Namun, sejumlah indikasi lain memberi petunjuk adanya kontak jauh lebih awal.
Dalam tulisan Eccles yang termuat di Proceedings of the New Zealand Institute, disebutkan adanya karya geografis Arab abad ke-13 dan ke-14 yang menggambarkan sebuah pulau besar dan sangat bergunung di lautan selatan, jauh di tenggara Kalimantan. Pulau itu dikatakan tidak dihuni manusia, melainkan burung raksasa yang disebut sheemoah. Deskripsi ini sangat mirip dengan lanskap Selandia Baru yang bergunung-gunung dan penuh fauna unik.
Sumber lain, seperti artikel dalam "The English Mechanic" tahun 1869, juga menguatkan klaim bahwa para ahli geografi Arab sudah memiliki informasi mengenai pulau misterius di selatan Samudra Pasifik. Meski belum terbukti secara arkeologis, narasi ini memperlihatkan luasnya jaringan pengetahuan bangsa Arab dalam menggambarkan dunia.
Jika benar demikian, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana orang Arab bisa mencapai Selandia Baru? Perdagangan internasional sejak abad pertengahan sudah menghubungkan Jazirah Arab dengan Asia Tenggara. Kota pelabuhan seperti Barus, Kerajaan Aru, dan Samudera Pasai dikenal sebagai pusat pertemuan pedagang Arab, Persia, India, dan Nusantara. Dari sana, kemungkinan ekspedisi menuju samudra lebih jauh menjadi masuk akal. Bahkan sebelum Portugis bercokol di Timor Leste, di sama sudah ada masyarakat Arab.
Jawa, Tidore, dan Ternate juga memiliki tradisi maritim yang kuat. Catatan Portugis maupun Arab menyebutkan betapa cakapnya pelaut Nusantara menaklukkan samudra. Tidak tertutup kemungkinan ekspedisi ke selatan dilakukan oleh komunitas campuran—orang Arab yang sudah menetap di pelabuhan Nusantara berkolaborasi dengan pelaut lokal.
Selain jalur perdagangan, ada pula temuan arkeologis yang memperkuat dugaan adanya hubungan awal dengan wilayah Pasifik. Salah satunya adalah lonceng Tamil yang ditemukan di Pulau Utara Selandia Baru. Benda ini menunjukkan adanya kontak perdagangan yang mungkin melalui perantara Asia Selatan atau Asia Tenggara.
Ada pula laporan yang menyebut bangsa Spanyol pernah singgah di Port Nicholson sebelum kedatangan James Cook. Bahkan ada klaim bahwa Portugis mencapai Selandia Baru sekitar tahun 1550, meski tanpa catatan resmi. Semua ini menunjukkan Selandia Baru tidak sepenuhnya “tak dikenal” sebelum abad ke-17.
Kekuatan maritim dunia Islam pada abad ke-13 dan 14 tidak bisa diremehkan. Armada dagang mereka menguasai rute dari Laut Merah hingga ke Selat Malaka. Pengetahuan astronomi dan navigasi yang mereka miliki memungkinkan pelayaran jauh melampaui batas yang kita bayangkan.
Jika teori ini benar, maka bukan mustahil peta Arab yang mencatat Selandia Baru adalah hasil informasi dari pelaut Nusantara yang berhubungan dengan pedagang Arab. Interaksi ini bisa menghasilkan pengetahuan geografis baru yang kemudian ditulis dalam naskah Arab.
Kemungkinan lain adalah adanya pelayaran campuran. Pelaut Arab membawa tradisi navigasi, sementara pelaut Nusantara membawa pengetahuan tentang arus laut dan bintang di wilayah selatan. Kolaborasi ini bisa menjelaskan bagaimana mereka berani menjelajah jauh hingga Samudra Pasifik.
Jejak migrasi orang Polinesia yang memang sudah mengarungi Pasifik ribuan tahun lalu juga bisa menjadi mata rantai penting. Orang Arab atau komunitas campuran Nusantara mungkin bertemu dengan kelompok Polinesia dan memperoleh informasi tentang pulau-pulau jauh di selatan.
Sejarah dunia maritim Nusantara sendiri menunjukkan keberanian luar biasa. Kapal jung Jawa abad ke-14 digambarkan mampu memuat ratusan orang dan berlayar hingga Afrika Timur. Jika kapal sebesar itu bisa melintasi Samudra Hindia, maka kemungkinan melintas ke Pasifik selatan bukanlah hal mustahil.
Dengan demikian, teori tentang kehadiran orang Arab atau komunitas campuran Arab-Nusantara di Selandia Baru bukan hanya imajinasi. Ia berpijak pada bukti literatur, temuan artefak, dan tradisi pelayaran yang memang kuat di kawasan Asia dan Pasifik.
Meskipun catatan resmi masih berpihak pada Tasman sebagai penemu pertama, sejarah alternatif ini memperlihatkan bahwa Selandia Baru mungkin sudah dikenal lebih awal oleh bangsa non-Eropa. Hal ini sekaligus meruntuhkan klaim bahwa dunia hanya dijelajahi setelah era penjelajahan Eropa.
Bila penelitian mendalam dilakukan, mungkin akan ditemukan jejak lebih jelas mengenai hubungan Arab, Nusantara, dan Pasifik. Temuan semacam itu akan mengubah pemahaman kita tentang jaringan maritim abad pertengahan.
Lebih jauh lagi, hal ini akan menegaskan bahwa Nusantara bukan hanya simpul perdagangan Asia, melainkan juga jembatan menuju Pasifik. Posisi strategis ini memperlihatkan betapa pentingnya peran Nusantara dalam sejarah global.
Kisah tentang sheemoah, burung raksasa di pulau selatan, mungkin hanyalah mitos. Namun, mitos sering kali lahir dari perjumpaan nyata dengan dunia yang asing. Bisa jadi itu adalah penggambaran awal tentang burung moa raksasa yang memang pernah hidup di Selandia Baru.
Dengan melihat semua indikasi ini, wajar jika dugaan adanya pelayaran Arab atau campuran Arab-Nusantara ke Selandia Baru abad ke-13 layak dipertimbangkan. Meski belum final, teori ini membuka ruang penelitian baru yang menarik.
Pada akhirnya, sejarah bukan hanya milik catatan resmi. Ia juga milik fragmen kecil, catatan samar, dan jejak artefak yang menunggu untuk dihubungkan. Mungkin saja, jauh sebelum Tasman, layar kapal dari Nusantara dan Arab sudah lebih dulu menyentuh pantai Selandia Baru.
Sejarah maritim Nusantara yang terhubung dengan dunia Arab menunjukkan satu hal pasti: laut bukanlah penghalang, melainkan jembatan. Dan jembatan itu bisa saja sudah menghubungkan Samudera Hindia dengan Pasifik Selatan berabad-abad sebelum dunia mengenalnya secara resmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar